Sabtu, 04 April 2009

STRATEGI PEMBELAJARAN

Dipublikasikan Oleh
Muhammad Irkham K.R., A.Ma
Strategi Pembelajaran Guru A. Pengertian Strategi Pembelajaran Dalam proses pelaksanaan suatu kegiatan baik yang bersifat Operasional maupun non operasional harus disertai dengan perencanaan yang memiliki strategi yang baik dan sesuai dengan sasaran. Sedangkan peran strategi dalam mengembangkan jiwa keagamaan anak ini sangat diperlukan. Oleh karena itu dalam menyampaikan atau mengajarkan dan mengembangkannya harus menggunakan strategi yang baik dan mengena pada sasaran. Sebelum lebih jauh kita mengartikan Strategi Pembelajaran, terlebih dahulu akan menjelaskan tentang Strategi. Kata “strategi” dalam kamus Bahasa Indonesia mempunyai arti,antara lain: Rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran Ilmu dan Seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam kondisi perang atau dalam kondisi yang menguntungkan Ilmu dan Seni mengembangkan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai. Tempat yang baik menurut siasat perang.[1] Dalam Bahasa Inggris, “strategi” berarti ilmu siasat.[2] Secara sederhana strategi merupakan hasil buah fikiran seseorang terhadap analisis obyek disebabkan ada sesuatu yang ingin dicapai. Secara Umum, kata “Strategi ” mengandung makna rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran Khusus (KBBI 1998:859). Dan pengertian lain dari kata “Strategi” adalah suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan. Untuk memahami makna “Strategi” atau “Teknik” secara lebih mantap, maka penjelasannya biasanya dikaitkan dengan istilah “Pendekatan” dan “Metode”.[3] Secara singkat dapatlah kita katakan bahwa “Strategi atau teknik ” merupakan prosedur-prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. [4] Hilda Taba dalam Suprihadi Saputro dkk, menyatakan bahwa “Strategi Pembelajaran adalah cara-cara yang dipilih oleh guru dalam proses pembelajaran yang dapat memberikan kemudahan atau fasilitas bagi siswa menuju tercapainya tujuan pembelajaran”. [5] Sedangkan Dick dan Carrey dalam Suprihadi Saputro dkk, membuat pengertian Strategi Pembelajaran lebih luas tidak hanya prosedur pembelajaran. Strategi Pembelajaran diartikan sebagai “semua komponen materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu”.[6] Menurut Slameto, Strategi adalah “suatu rencana tentang cara-cara pendayagunaan dan penggunaan potensi dan sarana yang ada untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi” ,[7] dalam konteks ini adalah pengajaran. Mc.Leod (1989) mengutarakan bahwa secara harfiah dalam bahasa Inggris, Kata “Strategi” dapat diartikan sebagai seni (art) melaksanakan stratagem yakni siasat atau rencana.[8] Istilah strategi sering digunakan dalam banyak konteks dengan makna yang tidak selalu sama. Dalam konteks pengajaran, Nana sudjana (1988) mengatakan bahwa strategi mengajar adalah “taktik” yang digunakan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar (pengajaran) agar dapat mempengaruhi siswa (peserta didik) mencapai tujuan Pengajaran (TIK) secara lebih efektif dan efisien.[9] Reber (1988) menyebutkan bahwa dalam perspektif Psikologi, kata Strategi berasal dari bahasa Yunani yang berarti rencana tindakan yang terdiri atas seperangkat langkah untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan.[10] Secara Umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.[11] Strategi digunakan sebagai teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa didalam kelas, agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik. Strategi adalah sebuah istilah popular dalam psikologi kognitif, yang berarti prosedur mental yang berbentuk tatanan tahapan yang memerlukan alokasi berupa upaya yang bersifat kognitif dan selalu dipengaruhi oleh pilihan kognitif atau pilihan kebiasaan belajar (kognitif preferences) siswa. [12] Strategi merupakan rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu yang mengaitkan keunggulan strategi pembelajaran dengan tantangan lingkungan dan yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh sekolah. Sedangkan Pembelajaran adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan dan sikap. [13] Pembelajaran sebagai padanan Intruktion mempunyai pengertian lebih luas dari pada pengajaran. Pengajaran menunjuk pada konteks hubungan guru- murid dan ruang formal, sedangkan pembelajaran mencakup belajar- mengajar yang tetap dapat berlangsung tanpa kehadiran guru secara fisik. Dalam pembelajaran ini ditetapkan proses belajar- mengajar dengan segala usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber belajar agar terjadi kegiatan belajar siswa. Keadaan inilah yang menyebabkan dibedakannya istilah pengajaran dan pembelajaran.[14] Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.[15] Jadi kesimpulannya, bahwa pengertian dari Strategi Pembelajaran adalah siasat, cara yang dilakukan guru dalam menyederhanakan materi yang akan diajarkan di dalam kelas. Atau dengan kata lain : suatu cara yang dilakukan oleh guru dalam menetapkan langkah-langkah utama mengajar sehingga hasil dari proses belajara mengajar itu dapat benar-benar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. 2. Tinjauan tentang Perkembangan Jiwa Keagamaan pada anak A. pengertian jiwa keagamaan Pengertian jiwa dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti seluruh kehidupan batin manusia ( yang terdiri dari perasaan, pikiran, angan- angan dan sebagainya). Pengertian kedua dalam kamus yang sama bahwa jiwa agama adalah sesuatu atau orang yang utama dan menjadi sumber tenaga dan semangat.[16]. Menurut Tadjab bahwa kata jiwa (sebutan dalam bahasa Indonesia), psyhe (Yunani), nafs (Arab), ketiganya memiliki pengertian " daya hidup" atau potensi yang terpendam dalam diri, yang menyebabkan dan menjadikan manusia serta makhluk- makhluk lainnya hidup dan berkehidupan atau berperilaku.[17] Sedangkan Sanadji mengatakan, bahwa jiwa adalah suatu kekuatan, daya dan kesanggupan dalam jasad manusia yang menurut ahli ilmu bersarang pada akal, kemauan dan perasaan.[18] Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jiwa merupakan daya hidup, kekuatan atau semangat yang bersarang dalam seluruh kehidupan batin manusia (yang terdiri dari perasaan, pikiran- pikiran dan sebagainya), atau berperilaku. Hidup berarti tumbuh, gerak dan berkembang, berkehidupan berarti mempunyai cara atau pola tertentu dalam gerak tumbuh dan berkembang. Sedangkan berperilaku mempunyai cara dalam bertingkah laku dan perbuatan- perbuatan yang sekaligus merupakan gejala atau petunjuk akan adanya hidup dan kehidupan. Sehubungan dengan hal tersebut jiwa memiliki arti yang sama dengan roh menjadikan manusia hidup dan bergerak serta merasakan berbagai rasa. Disamping itu, roh menyebabkan manusia berprikemanusiaan, berakhlak yang baik dan berbeda dengan binatang. Dimana roh tersebut merupakan sesuatu yang amat halus bersumber dari ruangan hati (jantung), yang menjadi pusat semua urat pembuluh darah dan mempunyai ciri yang halus dan ghaib. Sehingga dengan roh ini manusia dapat mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya dan mencapai ilmu yang bermacam-macam.[19] Sedangkan istilah keagamaan berasal dari "agama" yang mendapat awalan ke- dan akhiran –an. Kata agama berasal dari kata 'a' yang berarti 'tidak', dan ''gama' berarti kacau, kocar- kacir. Jadi agama adalah tidak kacau, tidak kocar- kacir dan atau teratur. Hasanuddin menyatakan agama adalah peraturan atau undang- undang Ilahi (Allah- Tuhan alam semesta) yang di sampaikan melalui Nabi dan Rasul-Nya untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia, agar mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.[20] Dan ada yang menyatakan agama adalah suatu kepercayaan, keyakinan, peribadatan, amal dan sebagainya yang dapat mempengaruhi dirinya untuk patuh dan taat menjalankan perintahnya yang tercermin dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia serta alam sekitarnya. Dari berbagai pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jiwa keagamaan adalah daya hidup kekuatan atau semangat yang bersarang dalam seluruh kehidupan batin manusia (yang terdiri dari perasaan, pikiran, dan sebagainya) yang menyebabkan dan menjadikan manusia hidup dan berkehidupan atau berperilaku sesuai dengan agama yang diyakini kebenarannya sehingga jiwa tersebut dituntun dan dibimbing oleh aturan yang tersurat dan tersirat dalam ajaran agama islam, yakni perintah Allah yang harus dilaksanakan dan menjauhi segala larangan yang telah ditetapkan Allah, dan jiwa inilah yang bertanggung jawab atas semua gerak gerik, tingkah laku dan perbuatan manusia dan yang memegang komando dalam seluruh kehidupan manusia. B. Perkembangan jiwa Keagamaan anak Perkembangan (development) adalah suatu proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1991), perkembangan adalah perihal berkembang. Selanjutnya kata berkembang menurut kamus bahasa Indonesia ini berarti mekar terbuka atau membentang; menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan dan sebagainya.[21] Di dalam Al-qur'an dan hadist Nabi SAW, dinyatakan bahwa agama (tauhid/ keimanan kepada Allah SWT) merupakan fitrah atau potensi dasar bagi manusia (anak). Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat "laten". Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap, lebih- lebih pada masa usia dini. Sesuai dengan pertumbuhannya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu : prinsip biologis, prinsip tanpa daya , dan prinsip eksplorasi. Dan semua itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan melalui pentahapan. Montessori, mengatakan bahwa ketika mendidik anak- anak, kita hendaknya ingat bahwa mereka adalah individu- individu yang unik dan akan berkembang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri dan itu adalah tugas orang tua. Selain orang tua yang memiliki peranan tersebut adalah pendidik/ guru. Tugas pendidik agama adalah mengembangkan dan atau membantu tumbuh suburnya seluruh fitrah tersebut. Dalam pengertian lain bagaimana pendidik agama membelajarkan anak, agar mereka mengaktualkan imannya melalui amal- amal shaleh untuk mencapai prestasi iman (taqwa). Maka dari itu pendidik harus memahami perkembangan agama pada anak dan strategi atau metode yang akan digunakan. Anak itu memiliki periode- periode sensitive atau kepekaan untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak berkembang pada masa yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran mereka. Adapun tahap perkembangan pada anak : lahir- 3 tahun : memiliki kepekaan sensoris dan pikiran sudah dapat menyerap pengalaman- pengalaman melalui sensorinya. 1 setengah tahun- 3 tahun : kepekaan bahasa dan sangat tepat mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap- cakap, menirukan) 2- 4 tahun : koordinasi gerakan otot (latihan berjalan), berminat pada benda- benda kecil, sadar adanya urutan waktu (pagi, siang, dan malam) 3- 6 tahun : kepekaan peneguhan sensoris, kepekaan inderawi. * usia 3-4 tahun : kepekaan untuk menulis, * 4- 6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca. [22] Adapun perkembangan jiwa agama, menurut Zakiyah Darajat (1976) bahwa perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama masa anak (0- 12 tahun). Masa ini merupakan masa yang sangat menentukan bagi pertumbuhan dan perkembangan agama anak untuk masa berikutnya. Karena itu, anak yang tidak pernah mendapat didikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka setelah dewasa ia akan cenderung kepada sikap negatif terhadap agama, demikian pula sebaliknya. Menurut penelitian Ernest Harms, perkembangan agama pada anak- anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Yaitu : a. Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage) Tingkat ini dimulai pada anak yang berusia 3- 6 tahun. Pada tingkat ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi sehingga dalam menanggapi agamapun anak masih menggunakan konsep fantastic yang diliputi oleh dongeng- dongeng yang kurang masuk akal. b. Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage) Tingkat ini sejak anak mulai masuk sekolah dasar usia adolesnce. Pada masa ini ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep yang berdasarkan pada kenyataan. Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini anak-anak telah melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajarinya. c. Tingkat Individu (The Individual Stage) Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistic ini terbagi atas tiga golongan, yaitu : 1) Konsep Ketuhanan yang konvensional dan konservatif serta dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal itu disebabkan oleh pengaruh luar. 2) Konsep Ketuhanan yang lebih murni dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal. 3) Konsep Ketuhanan yang bersifat Humanistik. Agama telah menjadi bagian dari mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor intern yaitu perkembangan usia, dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.[23] Pertumbuhan agama pada anak bukanlah suatu gejala psikis yang luar biasa. Anak adalah makhluk yang beragama, artinya batinnya, hakekatnya dirinya, keseluruhan hidupnya pada susunan dasarnya adalah bersifat keagamaan. Sebab manusia dilahirkan dengan membawa fitrah agama. Gejala kemampuan dan kemungkinan-kemungkinannya adalah akibat dari hidup keagamaannya. Ia berfikir karena ia beragama, dan ia merasa sebagai manusia karena ia beragama. Kehidupan keagamaan dengan berbagai corak yang berhubungan dengan corak individualnya. Berkenaan dengan kehidupan keagamaan anak, maka pada masa tersebut agama masih realistis, anak-anak akan mengaitkan agama dengan realitas dan cara berpikir anak masih konkrit, mereka belum bisa berpikir abstrak. Anak-anak di Taman Kanak-Kanak belum mampu berpikir abstrak, karena perkembangan pemikiran logis baru mulai pada umur tujuh tahun. Mereka berpikir terkait dengan apa yang dapat dijangkaunya dengan panca inderanya, karena itu cara mereka berpikir dikatakan inderawi. Di antara panca indera yang paling besar pengaruhnya dan lebih lama tinggal di otak adalah penglihatan, kemudian pendengaran, sedangkan sisanya sentuhan, penciuman, dan pencicipan. Anak yang dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang taat beribadah dan sayang kepada anak-anaknya, akan menyerap nilai-nilai agama dari orang tuanya, boleh jadi mereka terbiasa mengikuti orang tuanya shalat, berdo’a, dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, serta hati mereka telah akrab dengan agama, dan sebaliknya anak yang di besarkan oleh orang tua yang tidak acuh kepada agama, ia akan menjadi acuh tak acuh atau bersikap negatif terhadap agama dan guru agama di sekolahnya. Karena yang menonjol adalah hal-hal yang konkrit, maka keimanan bagi anak yang bukan merupakan sesuatu yang abstrak dan berdiri sendiri lepas dari kehidupan. Karena itu pendidikan agama kepada anak jangan sampai menekankan rumusan-rumusan abstrak, tetapi harus mengarahkan pada kehidupannya kepada sesuatu yang (konkrit) yang dikehendaki Tuhan. Tuhan yang abstrak tidak akan mampu menciptakan relegiutas pada anak, karena ia tidak akan tergambar dalam keteladanan yang konkrit. Disamping itu anak adalah dalam arti keseluruhannya, baik tubuh (jasmani), pikirannya, dan perasaannya.[24] Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, artinya bukan hanya tubuh dan kemampuan jasmaninya saja yang kecil, tetapi kecerdasannya, perasaan, dan keadaan jiwanya yang bertalian dengan orang dewasa. Karena itu apa yang cocok dengan orang dewasa maka itu tidak akan cocok untuk anak-anak, terutama dalam hal pemahaman masalah agama. Ajaran agama yang diberikan pada anak bukan pengajaran dan pemberian pengertian yang muluk-muluk, karena keterbatasan kemampuan dan kesanggupan yang dimiliki anak dalam perbendaharaan bahasa atau kata-kata. Pendidikan keagamaan pada anak lebih bersifat teladan (peragaan hidup secara riil). Dan anak belajar itu cenderung dengan cara meniru-niru, menyesuaikan dan menginterogasikan diri dalam suatu suasana. Karena itu latihan-latihan keagamaan dan pembiasaan itulah yang harus ditonjolkan, misalnya latihan ibadah shalat, do’a, membaca Al-Qur’an, menghafal surat-surat pendek, shalat berjama’ah dimasjid atau musholla, latihan dan pembiasaan akhlak atau ibadah social dan sebagainya.[25] Dengan demikian dengan berjalannya waktu dan lama kelamaan anak akan tumbuh dalam dirinya rasa senang dan akhirnya terdoronglah dalam jiwa mereka untuk mengamalkan ajaran-ajaran agama tanpa ada paksaan dari luar. C. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan jiwa keagamaan Anak. Suatu sikap keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur efektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif, jadi sikap keagamaan merupakan hubungan erat dengan gejala kejiwaan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan pada anak adalah sebagai berikut : a. Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam anak itu sendiri, baik fisik maupun mental. a) Faktor Hereditas. Hereditas merupakan factor yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan anak, karena berhubungan dengan sifat pembawaan yang berisi informasi genetic. Hereditas adalah merupakan suatu penurunan sifat-sifat atau ciri-ciri dari suatu generasi kegenerasi berikutnya melalui plasma benih yang diturunkan itu, bukanlah bentuk-bentuk tingkah benih. Secara garis besar pembawa sifat terdiri atas genotip dan fenotip. Genotip adalah keseluruhan factor bawaan yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan, akan tetapi tidak akan menyimpang dari sifat dasar yang ada. Fenotip adalah karakteristik seseorang yang tampak dan dapat diukur seperti bentuk fisik dan lain-lain. Jiwa keagamaan bukan secara langsung sebagai factor bawaan yang diwariskan secara turun temurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif,afektif, dan konatif. b) Faktor tingkat Usia Dalam bukunya The Development Of Religious On Children Ernest Harms menyatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak akan ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula perkembangan kejiwaan yang lain termasuk perkembangan berpikir. Anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agamanya. c) Faktor kepribadian Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu: unsur hereditas dan lingkungan. Kedua unsur inilah yang akan membentuk kepribadian. Dan kepribadian ini yang menyebabkan munculnya konsep tipologi (lebih ditekankan pada unsur bawaan) dan karakter (lebih ditekankan adanya pengaruh lingkungan). Unsur-unsur tersebut ada yang bersifat tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian manusia. Unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur bawaan, sedangkan yang dapat berubah adalah karakter. Namun karakter menurut Erich Fromm relative bersifat permanent. d) Faktor kondisi kejiwaan Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai factor intern. Sebagaimana yang dinyatakan Sigmund Freud bahwa gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Sedangkan biomedis, fungsi tubuh yang dominant mempengaruhi kondisi-kondisi jiwa seseorang. b. Faktor eksternal adalah faktor yang datangnya dari luar. Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut adalah Keluarga, Institusi, dan Masyarakat. a) Keluarga Keluarga merupakan satuan social yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggotanya terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak. Bagi anak keluarga merupakan lingkungan social pertama yang dikenalnya. Dengan demikian kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak. Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan islam sudah lama disadari, oleh karena itu sebagai investasi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orang tua diberikan tanggung jawab yaitu mengadzankan ketelinga bayi yang baru lahir, mengaqiqahkan, memberi nama yang baik, mengajarkan membaca Al-Qur’an, membiasakan Shalat serta bimbingan yang lainnya yang sejalan dengan perintah agama. Keluarga merupakan factor yang paling dominant dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan. b) Lingkungan Institusional Lingkungan Institusi yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun non formal seperti berbagai perkumpulan atau organisasi. Sekolah sebagai institusi formal ikut berpegaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu ada tiga 1) kurikulum dan anak, 2) hubungan guru dan murid, 3) hubungan antar anak. Dilihat dari keterkaitan perkembangan jiwa keagamaan tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam ketiga kelompok tersebut tersirat unsure-unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, keteladanan, pembiasaan dan lain sebagainya. Melalui kurikulum yang berisi materi pengajaran, sikap, dan keteladanan guru sebagai pendidik serta pergaulan antar teman disekolah berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang. c) Lingkungan Masyarakat Lingkungan masyarakat bukanlah lingkungan yang mengandung unsure tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsure pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik positif maupun yang negative. Misalnya lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab keagamaan terkondisikan dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini akan berpengaruh dalam pembentukan perkembangan jiwa keagamaan warganya. [1] Tim Penyusun Kamus Besar.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.1990. hlm 859 [2] John M.Echol dan Hasan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia.1996.hlm 560 [3] Henry Guntur Tarigan, Strategi Pengajaran dan Pembelajaran, Bandung : Penerbit Angkasa. 1993. hlm 2 [4] Ibid, hlm 4 [5] Suprihadi Saputro dkk, Strategi Pembelajaran, Bahan Sajian Program Pendidikan Akta Mengajar. Malang : Universitas Negeri Malang. 2002. hlm 21 [6] Ibid. hlm 22 [7] Slameto, Proses Belajar Mengajar Dalam Sistem Kredit Semester. Jakarta : Bumi Aksara. 1991.hlm 90 [8] Muhibbin Syah,M.Ed. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung.PT.Remaja Rosda Karya.2003. hlm 214 [9] Drs.Ahmad Rohani dan Drs.H.Abu Ahmadi.Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. hlm 33 [10] Muhibbin Syah,M.Ed.Op.Cit. hlm 214 [11] Dr.Syaiful Bahri Djamarah dan Drs.Aswan Zain.Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.1996. hlm 5 [12] Muhibbin Syah, M.Ed. Psikologi Belajar. Jakarta :Logos Wacana Ilmu.1999. hlm 50 [13] Dimyati dan Mulyono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta :Rineka Cipta. 1999. hlm 157 [14] Siti Kusrini. Strategi Pembelajaran Pendidikan Islam. Malang : IKIP Malang.1995. hlm 55 [15] Oemar Hamalik. Psikologi Belajar Mengajar. PT.Raja Grafindo Persada.2003. hlm 57 [16] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,1996. hal 416 [17] Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan, Surabaya, Karya Abditama, 1994. hal 5 [18] kasmiran waryo Sanadji,Filsafat Manusia, Jakarta, Erlangga1985. hal 28 [19] Muhaimin dan Abdul Mudjib.Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya. Bandung : Triganda Karya.1993. hlm 35 [20] Muslim, dkk. Moral dan Kognisi Islam.Bandung. Cv.Alvabeta.1993. hal 209 [21] Muhibin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung. ROSDA. 1995. hal 41 [22] http://bruderfic.or.id,"potret",opcit [23] Prof.Dr.H.Jalaluddin.2005."Psikologi Agama". Jakarta.PT.Raja Grafindo Persada. Hal 66 [24] Muhaimin.Arah Baru Pengembangan Kurikulum;Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Penerbit Nuansa.2003. hlm 294 [25] Ibid. hlm 142

Tidak ada komentar: